Manusia pengendali api

Percayakah kita kalau dikatakan, tubuh manusia sebenarnya menyimpan kekuatan yang mampu membangkitkan api? Kita boleh tidak percaya, tapi berikut ini ada sejumlah peristiwa misteri tentang manusia-manusia yang memiliki daya aneh itu.


Fenomena hubungan manusia dengan api memang unik. Kecil menjadi kawan, besar menjadi lawan. Ujaran tersebut mengandung makan bagaimana kita masih bisa bermain-main dengan api sampai batas tertentu.


Begitu banyak contoh permainan dengan api beredar di sekitar kita. Mulai dari yang paling sederhana seperti menyala-matikan kompor atau korek api, hingga yang cukup berisiko dengan berlenggang kangkung di atas serakan bara api yang memerah.


Tapi pada semua kondisi tersebut api dihasilkan dari sumber di luar manusia. Dalam kesenian tradisional kuda kepang, pemain api akan menyimpan minyak tanah di mulutnya sebelum disemburkan ke obor di dekatnya untuk menciptakan sensasi api yang berkobar. Apakah permainan itu menggambarkan hasrat manusia menjadi sumber api? Tapi mungkinkah?


‘Masuk’ ke tungku


Dalam bukunya Scientific American L.C. Woodman menceritakan, pada tahun 1882 ia telah mengamati W.M. Underwood (27) dari Paw Paw, Michigan, yang memiliki kelebihan memiliki napas cukup panas. Konon embusan napas Underwood dapat membakar sapu tangan dan lembaran kertas. Diceritakan, “Bila berburu, ia sering terlupa membawa korek. Saat merasa memerlukan api, ia akan segera mengumpulkan daun kering, menumpuknya, lalu meniupnya hingga terbakar. Dengan tenang ia menggunakannya entah untuk mengeringkan kaus kakinya atau penggunaan yang lain.”


Bakat luar biasanya itu ditemukan secara tak sengaja ketika Underwood mencium sapu tangan yang wangi, “Saat ia mengembuskan napasnya, sapu tangan itu tiba-tiba terbakar.”


Woodman tidak mampu menemukan penyebabnya, yang pasti di tubuh Underwood tidak ditemukan alat apa pun yang membuatnya punya daya membakar.


Underwood bukan satu-satunya, masih banyak lagi orang yang mengalami kejadian yang disebut fire prone atau pyrokinetics itu. Yang lain adalah Tong Tangjiang (4) dari Hunan, Cina. Berbeda dengan Underwood yang mampu mengontrol kapan akan menggunakan api, Tong hanya bisa pasrah setiap kali api datang.


Kejadian pertama dialaminya pada pagi hari bulan April 1990, ketika keluarganya melihat asap keluar dari pipa celana panjangnya. Ketika dilepas, nampak celana dalamnya terbakar. Ia segera dilarikan ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan atas luka bakar tersebut. Dalam tenggang waktu 2 jam berikutnya, tubuhnya menyala selama tiga kali lagi. Kebakaran-kebakaran tersebut melukai tangan, ketiak, bahkan organ kelaminnya.


Dokter yang merawatnya tidak melihat penyebab yang jelas. Ia menduga, Tong mampu membangkitkan aliran arus listrik setiap ia merasa senang atau stres. Setelah kejadian itu, Tong pernah tanpa sadar membakar kasur, selain suatu ketika hampir membakar rambut neneknya.


Nasib buruk serupa dialami Paul Hayes (19) pada 25 Mei 1985 malam. Paul Hayes (19) yang bekerja sebagai programer komputer tiba-tiba menyala saat melewati jalanan sepi di Stepney Green. Untunglah, tempat itu tidak jauh dari London Hospital sehingga ia bisa segera mendapat pertolongan.


Pria bukan perokok itu mencoba mengingat semua yang dirasakannya saat itu, “Sungguh sulit dijelaskan...tiba-tiba saya seperti dicemplungkan ke dalam tungku yang panas...dada ini seperti disiram air mendidih. Saat itu seakan-akan aku mendengar otakku bergolak matang!”


Keadaan tersebut memang tidak membuat para pengidap pyrokinetic tersebut merasa nyaman. Bukan hanya oleh kemungkinan bahaya yang setiap saat mengancam mereka, namun juga akibat sosial lainnya. Terlebih bila pelaku tersebut bisa menyalakan api tanpa akibat luka bakar di tubuhnya. Akan makin sulit baginya untuk mengelak tudingan sebagai penyebab kebakaran.


Asalnya kekuatan pikiran


Fenomena yang dialami para penderita pyrokinetics, berbeda dengan yang disebut penghangusan tubuh secara spontan (SHC). SHC sering berakibat fatal, karena panas yang terjadi mampu mengubah tubuh menjadi setumpuk abu hanya dalam beberapa menit. Bisa dibayangkan seberapa kuat panasnya, bila dibandingkan dengan pembakaran jenazah di krematorium yang menggunakan panas pada suhu 1.110oC. Perlu waktu 8 jam untuk membakar jenazah di situ. Itupun, bekas yang ditinggalkan tidak seperti pada peristiwa SHC.


Dalam fenomena manusia pyrokinetics, tak sedikit orang yang mencoba mencari penyebab yang wajar terjadi dalam keseharian, seperti puntung rokok yang menyala, bara yang terpercik dari pemanas atau pembakaran.


Malah pada lingkungan tertentu ada yang mengaitkannya dengan poltergeist yang manifestasinya sering berupa kecelakaan kebakaran. Poltergeist yang dimaksud, menurut banyak orang, tidak disebabkan oleh roh jahat, tapi lebih karena pribadi yang terganggu.


Atas dasar pendapat itu, ahli fisika Dr. Nandor Fodor menganjurkan, perlu analisis psikis untuk membuktikan bahwa rumah yang mengalami gangguan poltergeist lebih disebabkan oleh apa yang disebutnya sebagai ‘cetusan tekanan yang dirasakan penghuninya’.


Secara tersamar pendapat itu didukung anomalis Vincent H. Gaddis, seperti yang dimuat dalam bukunya ‘Mysterious Fires and Lights’ yang berdasarkan penelitiannya di bidang parapsikologi tahun 1967. Menurutnya, “Ada satu kekuatan pikiran yang mampu meningkatkan gejolak molekul yang berpengaruh langsung pada suatu objek sasaran. Begitu gejolak meningkat, objek menjadi panas. Sehingga untuk membakar tirai, baju, atau benda lain yang mudah terbakar hanya perlu beberapa percikan panas.”


Tidak heran bila orang-orang yang telah mampu mengontrol kekuatan pikiran, akan mampu melakukan hal tersebut, misalnya dengan melakukan meditasi.


Dihukum tanpa bukti kuat


Ketidaktahuan mengenai pyrokinetics pun rupanya bisa memberikan akibat yang jauh dari mengenakkan. Ketika pelakunya dituduh sebagai pelaku kejahatan, seperti yang terjadi pada 12 Desember 1983 di Livorno, Italia. Kasus itu pun menjadi satu kasus paling aneh di pengadilan modern.


Carol Compton, gadis kebangsaan Skotlandia, menerima lima tuduhan membakar rumah dengan sengaja dan satu usaha pembunuhan. Tuduhan tersebut mampu menggambarkan betapa berbahayanya Carol. Tak ayal, selain harus dikawal petugas keamanan saat memasuki ruang pengadilan, selama proses persidangan ia pun ditempatkan dalam kandang berjeruji yang terkunci kuat yang biasa digunakan untuk mengurung teroris saat diadili.


Awal kisahnya dimulai pada penghujung tahun 1982, ketika Carol mulai bekerja sebagai baby sitter. Saat ia bekerja tersebut terjadi tiga kebakaran. Kejadian pertama menghancurkan ruang tamu majikannya, dua kejadian berikutnya terjadi pada rumah baru saat rumah lama yang terbakar diperbaiki. Meski tidak ada bukti bahwa Carol pelakunya, ia tetap harus menerima tuduhan sebagai pelaku. Carol pun kehilangan pekerjaan pertamanya.


Lepas dari pekerjaan pertamanya, nasib buruk masih mengejarnya. Pada kesempatan berikutnya Carol bertugas merawat Agnese (3), anak perempuan pasangan kaya yang bekerja di stasiun TV. Pada 1 Agustus malam, tiba-tiba tempat tidur kakek Agnese dilalap api. Keesokan paginya, api kembali menghanguskan kasur lipat, sementara Agnese masih tidur di atasnya.


Meski Agnese tidak mengalami luka, keluarganya tetap memanggil polisi untuk memeriksa Carol. Ia pun ditahan dengan tuduhan melakukan rencana pembunuhan dan pembakaran rumah (yang terjadi pada majikan sebelumnya). Padahal alibinya cukup kuat, saat kebakaran terjadi Carol berada di lantai bawah bersama anggota keluarga lainnya. Karena menolak memberikan uang jaminan, ia dipertimbangkan menjalani hukuman percobaan selama 16 bulan.


Carol pun menjadi bahan perbincangan di mana-mana. Ada yang berusaha melindunginya, dengan menduga kemungkin terjadinya pyrokinetics, atau sebaliknya mencemoohnya.


Salah seorang yang berusaha menjatuhkannya adalah nenek Agnese yang sangat percaya pada takhayul. Ia mengundang seorang dukun untuk menguatkan tuduhannya, bahwa Carol menggunakan sihir untuk menghancurkan keluarganya. Ketika sang dukun yang berpakaian hitam itu datang, segenap pengunjung merasa tercekam oleh suasana misteri. Sambil mengayunkan jimat besar, ia berkomat-kamit mengucapkan mantera tepat di depan wajah Carol. Menurutnya, roh seorang gadis dari abad XVII telah merasukinya dan memberikan kemampuan membakar itu.


Dengan telak pihak penuntut dan pembela menolak keterlibatan paranormal. Mereka lebih memilih meminta kesaksian petugas kebakaran yang memadamkan api di kediaman majikan-majikan Carol. Petugas yang berpengalaman selama 38 tahun itu mengaku, api di rumah-rumah tersebut sangat aneh, “Tidak hanya panas sekali, arah rambatan api juga tidak biasa. Kalau biasanya dari bawah ke atas, yang ini justru dari atas ke bawah.”


[Majalah Intisari, Juni 1997]
Newer Post Older Post Home[hr]Si "Mata Api"


Keadaan tersebut memang tidak membuat para pengidap pyrokinetic tersebut merasa nyaman. Bukan hanya oleh kemungkinan bahaya yang setiap saat mengancam mereka, namun juga akibat sosial lainnya. Terlebih bila pelaku tersebut bisa menyalakan api tanpa akibat luka bakar di tubuhnya. Akan makin sulit baginya untuk mengelak tudingan sebagai penyebab kebakaran.


Willy Brough (12) dari Turlock, Kalifornia, misalnya, diduga mampu menyalakan api hanya dengan memandangnya. Akibatnya, ia harus menerima saja ketika diusir keluarganya karena dianggap kerasukan roh jahat.


Untunglah, seorang petani yang tinggal dekat rumahnya mau memungut bocah itu dan kembali menyekolahkannya. Namun sayang, di sekolah baru ini ia hanya bertahan 1 hari. Karena hanya dalam sehari itu, lima ruang kelas dilalap api yang bersumber dari sorot matanya.


Benedetto Supino dengan "karya"-nya.
Demikian juga dengan Benedetto Supino dari Formia, dekat Roma, yang selanjutnya mejadi perhatian masyarakatnya. Bermula pada tahun 1982, ketika buku komik yang dibacanya di ruang tunggu dokter gigi tiba-tiba menyala. Sejak itu, ia dan keluarganya dikejutkan oleh beberapa kebakaran. Meja-kursi dan bermacam-macam barang lainnya terbakar setiap kali Benedetto melewatinya, termasuk juga seprai tempat tidurnya, atau barang-barang yang dipegangnya, terutama buku. Demikian pula dengan barang yang dipandangnya dengan serius, seperti yang pernah terjadi pada benda plastik yang dipegang pamannya.


Kemampuan itu membuat Benedetto merasa sangat malu, bahkan tertekan. Sementara para ilmuwan tidak mampu banyak membantunya. Profesor Mario Scuncio dari Pusat Kesehatan Sosial Tivoli misalnya, justruu memberikan diagnosis yang agak janggal dengan menilai kondisi kejiwaan anak laki-laki yang pendiam dan kutu buku itu sangat normal.


Dr. Giovanni Ballesio, dekan jurusan pengobatan kesehatan dari Rome University, yang pernah menyelidiki kemungkinan ketidaknormalan pada orang yang memiliki kemampuan membangkitkan listrik tinggi pun tidak mampu menemukan penjelasan apa-apa di balik semua kebakaran itu.


Benedetto hanya menyandarkan harapannya pada parapsikolog Demetrio Croce yang mencoba mengajarkan bagaimana mengontrol kemampuannya itu.


Nasib mengenaskan lain dialami Jennie Bramwell yang yatim piatu. Hanya dalam beberapa minggu setelah diadopsi, di rumah Dawson, di Thorah Island, Ontario - keluarga angkatnya - terjadi berpuluh kali kebakaran kecil. Api yang menjilat langit-langit, dinding, perabotan, handuk, bahkan kucing kesayangan keluarga terjadi spontan saat Jennie ada di dekatnya. Jennie pun dikembalikan ke rumah yatim piatu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger